Selasa, 26 November 2024

Morning Pages: Tiga Lembar Setiap Pagi Tanpa Sensor

Saya pertama kali mengetahui tentang istilah "Morning Pages" dari Youtuber edukasi, Zahid Ibrahim. Saya tertarik dengan apa yang dia sampaikan dan mempraktekannya setelah mengulik lebih dalam apa itu Morning Pages. Morning Pages sebenarnya sederhana. Kita hanya perlu menuliskan apapun yang yang bisa kita tulis seperti hal-hal yang mengganggu pikiran, gagasan, refleksi, rasa syukur, harapan atau mimpi semalam dengan tulisan tangan. Kita bahkan bisa menulis "Aku tidak tau akan menulis apa" sebanyak tiga halaman jika benar-benar tidak ada apapun yang muncul dikepala kita. 

Morning Pages sendiri merupakan teknik menulis bebas yang dikenalkan oleh Julia Cameron dalam bukunya " The Artist's Way: A Spriritual Path to Higher Creativity". Metode ini mengajak kita untuk menulis tiga halaman setiap pagi tanpa memikirkan struktur dan tata bahasa. Tujuannya sederhana, membersihkan kebisingan dalam pikiran dan membebaskan kreativitas. Selama sebulan terakhir saya rutin melakukan Morning Pages setiap pagi setelah berolahraga. Hasilnya, perasaan saya jauh lebih ringan. Bahkan jika awalnya hanya menulis "aku tidak tau akan menulis apa" ketika mengulanginya terus-menerus pikiran saya secara alami akan pindah ke ide atau perasaan lain yang lebih spesifik. Proses inilah yang yang membuka "sumbatan" dikepala dan membuat pikrian menjadi lebih ringan. 
"Morning pages are not meant to be art, or even writing. They are meant to be, simply, the act of moving the hand across the page and writing down whatever comes to mind. Nothing is too petty, too silly, too stupid, or too weird to be included".

Morning Pages bukan tentang menghasilkan tulisan yang indah atau bermakna. Melainkan untuk melepaskan apapun yang ada di pikiran tanpa sensor. Membiarkan tulisan mengalir bebas atau stream of consciousness, jadi tidak apa-apa untuk memulai dengan kebingungan atau pengulangan, yang penting adalah konsistensi menulis tiga halaman setiap pagi dengan tulisan tangan.

Morning pages, selain membuat pikiran menjadi lebih ringan, kegiatan ini juga membantu untuk lebih memahami pola pikir dan emosi dengan lebih baik. Hal itu meningkatkan kemampuan untuk lebih fokus dan menghasilkan ide-ide baru dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, membuka ruang bagi kreativitas yang mungkin sebelumnya terhambat karena kebingungan, kecemasan, atau tekanan mental. Morning pages juga memberi ruang untuk refleksi tanpa khawatir dengan penilaian orang lain. Bebas menjadi diri sendiri dan jujur apa adanya. 

Rabu, 20 November 2024

Belajar Mencintai Hidup

19/11/24 Rutinitas pagi seperti biasa. Aku bersimbah keringat, dan waktu menunjukan pukul 06.40 ketika aku menuliskan ini. Aku bangun pukul 04.50, langsung menyelesaikan beberapa tugas kecil, lalu olahraga (hari ini pakai panduan Mizi) selama 30 menit. Siang nanti aku akan pergi ke dokter THT. Bunyi di telingaku sudah terlalu mengganggu. Bayangkan rasanya kupingmu dibisiki ssrr ssrr nonstop 24 jam—desir layang-layang yang tak kunjung pergi dari telinga kananku. Tapi, meskipun ada yang membuat tubuh ini tidak nyaman, aku menyukai hidupku akhir-akhir ini. Aku lebih sering bersyukur. Bukan pada hal besar, tapi hal-hal kecil yang dulu sering luput dari perhatian. Aku bersyukur aku suka brokoli. Aku suka jus sayur. Aku suka semua buah—termasuk pepaya, buah yang sering dihindari orang-orang di sekitarku karena tumbuh di mana-mana: di belakang rumah, di pekarangan tak terurus, atau tanah kosong yang jarang dipijak. Tapi tidak sulit mendapat pepaya gratisan di sini, dan aku bersyukur untuk itu. Aku bersyukur D.O. masih exist dan kontennya mudah diakses. Aku bersyukur bisa masak. Bersyukur karena membersihkan rumah, menyikat toilet, menyapu lantai bukan hal berat bagiku. Aku bersyukur untuk buku-buku yang ku baca; mereka memberiku ruang untuk merasakan sedih, tawa, kesal, haru, cinta, dan kecewa. Aku bersyukur bisa tenggelam dalam huruf-huruf mereka.

Kadang aku berpikir, kalau suatu hari seseorang bertanya, “Kamu kok belum nikah? Maunya yang kayak gimana sih?” Aku mungkin akan menjawab: “Seseorang yang mencintai hidupnya.”

Bukan karena terdengar filosofis, tapi karena aku tahu, orang yang mencintai hidupnya bisa menemukan kebahagiaan dari hal yang paling sederhana. Mereka tidak menggantungkan kebahagiaan pada musim tertentu. Cerah, mendung, atau hujan sekalipun—semua tetap bisa dinikmati. Mereka senang mencium aroma kopi, tertawa bersama teman, menatap langit, atau bahkan hanya menikmati makanan favorit.

Mereka terbuka untuk mencoba. Tidak takut keluar dari kebiasaan, berani menyusuri tempat-tempat asing, mencoba hal baru, belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah ada di daftar sebelumnya. Mereka mungkin penggemar berat thriller detektif, tapi akan tetap mau mencoba membaca romance fantasy jika aku memintanya.

Mereka juga tidak sibuk meratapi masa lalu, atau hidup dalam ketakutan terhadap masa depan. Mereka hadir—penuh—di momen sekarang. Optimis. Bukan berarti tak pernah punya masalah, tapi mereka mampu melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.

Mereka punya impian, besar maupun kecil. Dan itu yang membuat mereka terus bergerak. Mereka peduli. Mereka suka berbagi kebahagiaan, meskipun hanya lewat hal-hal sederhana—sebuah pesan, secangkir teh, pelukan hangat, atau sekadar mendengarkan.

Mereka menjaga diri mereka sendiri. Makan makanan yang baik, olahraga, tidur cukup. Mereka ingin terus hadir dalam hidupnya dan hidup orang-orang yang mereka sayangi.

Mereka tidak hidup dengan dendam, tidak juga dengan penyesalan. Mereka menerima, berdamai, dan berjalan maju dengan hati yang ringan. Mencintai hidup berarti juga mencintai dan menerima diri sendiri. Tidak membandingkan terus-menerus dengan orang lain. Tidak sibuk mengejar validasi. Tapi bisa menatap cermin dan berkata: “Aku cukup.”

Tentu saja mereka juga punya hari-hari buruk. Mereka juga bisa marah, kecewa, atau menangis. Tapi mereka tahu cara bangkit. Mereka tahu hidup ini layak untuk dirayakan, meski hanya dengan secangkir kopi dan udara pagi yang segar.

Laki-laki fiksi-kah yang aku impikan? Aku pikir, tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding berdampingan seumur hidup dengan orang yang mencintai hidupnya. Aku menyisihkan semua kriteria laki-laki impianku saat remaja karena laki-laki yang mencintai hidupnya lebih keren dibanding apapun. 

Aku menyukai hidupku akhir-akhir ini. Aku sendiri terkejut betapa besar dampak dari perubahan kecil: mencatat habit trackerfinancial tracker, menulis morning pages, bangun pagi dan tidak tidur lagi, serta olahraga teratur. Semua itu berdampak nyata bagi fisik dan mentalku. Aku bersyukur untuk psikiaterku yang selalu menyertakan catatan di tiap sesi: “Olahraga fisik secara teratur agar dapat meningkatkan mood dan energi menjalani kegiatan sehari-hari. Tulislah perasaan dan pengalaman di buku catatan agar dapat membantu meredakan kecemasan dan memproses emosi dengan baik.”

Waktu masih menunjukan pukul 07.55 Aku akan membuat kopi dan mulai bekerja.

Aku ingin menutup pagi ini dengan kutipan dari Kahlil Gibran, dari buku The Prophet:

When you work, you fulfil a part of earth’s furthest dream,

assigned to you when that dream was born,

and in keeping yourself with labour you are in truth loving life,

and to love life through labour is to be intimate with life’s inmost secret.

Pekerjaan bukan sekadar kewajiban, tapi ekspresi cinta terhadap kehidupan. Dengan bekerja secara sadar dan penuh cinta, kita tidak hanya menjalani hidup, tapi juga menjadi bagian dari harmoni besar alam semesta. Lewat kerja, kita menemukan tujuan, menikmati dunia, dan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Selamat Mencintai Hidup! 

Minggu, 16 Juni 2024

Lima Rekomendasi Buku Tentang Depresi dan Kesehatan Mental

Buku tentang depresi dan kesehatan mental
Saat ini topik tentang depresi dan kesehatan mental semakin banyak mendapatkan perhatian, seiring dengan banyaknya orang yang sadar dan peduli bahwa kesehatan mental tidak hanya penting untuk kualitas hidup, tapi juga berperan krusial dalam hubungan interpersonal, produktivitas dan kemampuan dalam menghadapi permasalahan hidup sehari-hari. Sebenarnya depresi dan masalah kesehatan mental lainnya adalah hal yang sering dialami banyak orang. Untuk itulah buku-buku ini hadir sebagai upaya untuk membantu kita memahami dan menghadapi masalah depresi dan kesehatan mental, serta untuk memastikan bahwa orang yang mengalami hal tersebut tidak lagi merasa sendiri. Namun, perlu diingat jika kalian tertarik membaca salah satu dari buku ini jangan mencoba mendiagnosis diri sendiri. Buku-buku ini hanya berfungsi sebagai pendamping, tetapi diagnosis dan perawatan tetap harus diserahkan pada profesional. Semoga buku-buku ini bisa menjadi panduan dalam perjalanan kalian mengenal depresi dan kesehatan mental yang lebih baik. Selamat membaca!

1. Loving The Wounded Soul

 

Kamis, 29 Februari 2024

Pengalaman Pertama Berkunjung ke Tanah Baduy

Mengamati keseharian sekelompok masyarakat yang berbeda dari budaya kita selalu terdengar menarik. Hal baru, tempat baru, teman baru, suasana baru—semuanya membangkitkan gairah untuk merasakannya. Itulah yang melatari keinginan saya untuk segera menginjakkan kaki di tanah Baduy, selagi masih ada kesempatan. Dan pada awal Februari 2024, akhirnya kesempatan itu datang.

Pagi itu, saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Banten dengan menumpang KRL dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung. Ini adalah kali pertama saya mencoba rute KRL terpanjang di Indonesia, dengan waktu tempuh sekitar dua jam dan tarif hanya Rp8.000. Saya cukup kaget dengan harga tiket yang begitu murah untuk durasi perjalanan yang cukup panjang. Saya tiba di Rangkasbitung pukul 09.30 dan melanjutkan perjalanan dengan microbus yang telah disediakan pihak open trip menuju Kampung Cijahe—pos pertama sekaligus tempat istirahat sebelum mendaki ke Baduy Dalam.

Siang itu, suasana pos sudah sangat ramai oleh wisatawan. Kami semua berkumpul di sebuah rumah panggung bambu yang tak begitu luas. Karena jumlah peserta puluhan orang, perlu sedikit usaha untuk mencari tempat duduk dan menaruh barang. Kami salat, makan, istirahat, dan bersiap di sana sebelum tour leader membawa kami memulai trekking. Jalur kami dimulai dari Kampung Cijahe, salah satu rute tercepat menuju Baduy Dalam, dengan estimasi waktu 2–4 jam. Rencananya kami akan pulang melalui jalur Ciboleger dengan estimasi waktu 5–9 jam, tergantung cuaca, medan, dan kondisi fisik peserta. 

Sabtu sore itu, sebelum mendaki, suasananya sedikit gerimis. Langit mendung dan embusan angin terasa sejuk. Setelah briefing dan mengabadikan momen bersama, kami memulai pendakian. Cuaca Baduy saat itu memang kurang bersahabat, tapi tidak menyurutkan semangat dan rasa penasaran kami terhadap hal-hal yang akan kami temui nanti di Baduy Dalam.

Perjalanan kami dipandu dua orang Baduy Dalam: Kamong (15 tahun) dan Coki (9 tahun). Sama seperti warga Baduy Dalam pada umumnya, mereka tidak memakai alas kaki. Mereka mengenakan pakaian adat berupa sarung loreng hitam, jamang sangsang, dan ikat kepala putih. Adat istiadat setempat tidak memperbolehkan anak-anak Baduy, baik Luar maupun Dalam, untuk bersekolah. Karena itu, Kamong dan Coki bekerja sampingan sebagai porter dan pemandu wisata setiap akhir pekan. Di hari biasa, mereka membantu orang tua berkebun, berladang, atau menjual hasil pertanian seperti buah, madu, palawija, dan kerajinan khas Baduy ke desa-desa sekitar.

Medan yang kami lalui cukup menantang—terjal, licin, dan berlumpur. Sejujurnya, itu cukup menyulitkan. Banyak di antara kami yang terpeleset dan akhirnya memilih mendaki tanpa alas kaki karena merasa lebih aman. Jadi, saran saya bagi teman-teman yang ingin mengunjungi Baduy saat musim hujan: gunakan sepatu gunung yang proper dan trekking pole untuk menahan beban tubuh agar tidak mudah tergelincir. Setelah sekitar 2,5 jam mendaki, kami tiba di jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewatinya, kami tak lagi diperbolehkan menggunakan gawai atau mendokumentasikan apa pun, sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan adat, privasi, keotentikan budaya, dan keyakinan masyarakat setempat.

Menjelang Magrib, perjalanan kami terbayar ketika rumah-rumah bambu berdiri berjejer rapi di hadapan kami. Suasana Desa Cibeo tampak sepi—aktivitas penduduk sudah mulai meredup, anak-anak tak terlihat karena gerimis belum juga reda, dan langit terus menggelap. Kami langsung menuju rumah Ayah Sapri, ayah dari Kamong. Di sanalah kami akan menginap. Selain Ayah Sapri, ada Ambu, kakak perempuan, adik perempuan, dan seorang keponakan Kamong yang masih bayi. Kamong sendiri tidak ikut bermalam karena harus kembali ke rumah ladang.

Pakaian kami penuh lumpur saat tiba. Setelah beramah-tamah dan meletakkan barang, saya dan dua teman lainnya memutuskan membersihkan diri di sungai yang tak jauh dari rumah. Sungai ini berbeda dari yang kami temui di perjalanan—airnya sangat jernih meski baru diguyur hujan. Kami mandi bersama warga lokal yang sedang mencuci peralatan dapur, pakaian, dan bahan masakan. Awalnya kami malu karena belum terbiasa mandi di tempat terbuka. Tapi di sini, semua orang melakukannya. Kami pun menyesuaikan diri.

Dingin. Itulah yang pertama kali saya rasakan saat mencelupkan kaki ke air. Tapi setelah menceburkan seluruh badan, rasanya sejuk, segar, dan nyaman. Saya benar-benar menikmati sensasi mandi di sungai di atas bebatuan, diiringi suara alam. Kami saling menggosok punggung dengan batu, tertawa dan mengobrol bersama—sebuah pengalaman sederhana yang terasa menyenangkan. Kerlip kunang-kunang di atas kepala kami seperti pemandangan ajaib yang menghibur lelah setelah perjalanan panjang. Kami mendengar gemericik air, kicauan burung, desir dedaunan, dan tawa anak-anak di tepi sungai. Meski ingin berlama-lama, kami harus kembali sebelum malam tiba.

Saat pulang, cahaya remang obor yang tergantung di dekat tungku sudah menerangi rumah panggung tempat kami akan bermalam. Gerimis belum reda, tapi suasana hangat terasa karena tidak ada ponsel di antara kami. Kami mengobrol, bertukar cerita, dan mengenang momen lucu selama perjalanan. Tawa kami memecah keheningan malam hingga waktu makan tiba. Kami menyantap masakan Ambu dalam diam, menggunakan peralatan makan dari bambu. Setelah makan, kami saling mengenal lebih dekat, lalu mendengarkan Ayah Sapri bercerita tentang adat istiadat, hukum, keyakinan, tradisi perkawinan, dan banyak hal menarik lain tentang Baduy. Malam itu ditutup dengan makan durian hasil kebun. Letih yang tertahan sejak pagi akhirnya terasa. Kami berbaring dan tertidur pulas dalam pelukan malam.

© Nayla Writing Room
Maira Gall