Kadang aku berpikir, kalau suatu hari seseorang bertanya, “Kamu kok belum nikah? Maunya yang kayak gimana sih?” Aku mungkin akan menjawab: “Seseorang yang mencintai hidupnya.”
Bukan karena terdengar filosofis, tapi karena aku tahu, orang yang mencintai hidupnya bisa menemukan kebahagiaan dari hal yang paling sederhana. Mereka tidak menggantungkan kebahagiaan pada musim tertentu. Cerah, mendung, atau hujan sekalipun—semua tetap bisa dinikmati. Mereka senang mencium aroma kopi, tertawa bersama teman, menatap langit, atau bahkan hanya menikmati makanan favorit.
Mereka terbuka untuk mencoba. Tidak takut keluar dari kebiasaan, berani menyusuri tempat-tempat asing, mencoba hal baru, belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah ada di daftar sebelumnya. Mereka mungkin penggemar berat thriller detektif, tapi akan tetap mau mencoba membaca romance fantasy jika aku memintanya.
Mereka juga tidak sibuk meratapi masa lalu, atau hidup dalam ketakutan terhadap masa depan. Mereka hadir—penuh—di momen sekarang. Optimis. Bukan berarti tak pernah punya masalah, tapi mereka mampu melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Mereka punya impian, besar maupun kecil. Dan itu yang membuat mereka terus bergerak. Mereka peduli. Mereka suka berbagi kebahagiaan, meskipun hanya lewat hal-hal sederhana—sebuah pesan, secangkir teh, pelukan hangat, atau sekadar mendengarkan.
Mereka menjaga diri mereka sendiri. Makan makanan yang baik, olahraga, tidur cukup. Mereka ingin terus hadir dalam hidupnya dan hidup orang-orang yang mereka sayangi.
Mereka tidak hidup dengan dendam, tidak juga dengan penyesalan. Mereka menerima, berdamai, dan berjalan maju dengan hati yang ringan. Mencintai hidup berarti juga mencintai dan menerima diri sendiri. Tidak membandingkan terus-menerus dengan orang lain. Tidak sibuk mengejar validasi. Tapi bisa menatap cermin dan berkata: “Aku cukup.”
Tentu saja mereka juga punya hari-hari buruk. Mereka juga bisa marah, kecewa, atau menangis. Tapi mereka tahu cara bangkit. Mereka tahu hidup ini layak untuk dirayakan, meski hanya dengan secangkir kopi dan udara pagi yang segar.
Laki-laki fiksi-kah yang aku impikan? Aku pikir, tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding berdampingan seumur hidup dengan orang yang mencintai hidupnya. Aku menyisihkan semua kriteria laki-laki impianku saat remaja karena laki-laki yang mencintai hidupnya lebih keren dibanding apapun.
Aku menyukai hidupku akhir-akhir ini. Aku sendiri terkejut betapa besar dampak dari perubahan kecil: mencatat habit tracker, financial tracker, menulis morning pages, bangun pagi dan tidak tidur lagi, serta olahraga teratur. Semua itu berdampak nyata bagi fisik dan mentalku. Aku bersyukur untuk psikiaterku yang selalu menyertakan catatan di tiap sesi: “Olahraga fisik secara teratur agar dapat meningkatkan mood dan energi menjalani kegiatan sehari-hari. Tulislah perasaan dan pengalaman di buku catatan agar dapat membantu meredakan kecemasan dan memproses emosi dengan baik.”
Waktu masih menunjukan pukul 07.55 Aku akan membuat kopi dan mulai bekerja.
Aku ingin menutup pagi ini dengan kutipan dari Kahlil Gibran, dari buku The Prophet:
When you work, you fulfil a part of earth’s furthest dream,
assigned to you when that dream was born,
and in keeping yourself with labour you are in truth loving life,
and to love life through labour is to be intimate with life’s inmost secret.
Pekerjaan bukan sekadar kewajiban, tapi ekspresi cinta terhadap kehidupan. Dengan bekerja secara sadar dan penuh cinta, kita tidak hanya menjalani hidup, tapi juga menjadi bagian dari harmoni besar alam semesta. Lewat kerja, kita menemukan tujuan, menikmati dunia, dan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Selamat Mencintai Hidup!
Tidak ada komentar
Posting Komentar