Pagi itu, saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Banten dengan menumpang KRL dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung. Ini adalah kali pertama saya mencoba rute KRL terpanjang di Indonesia, dengan waktu tempuh sekitar dua jam dan tarif hanya Rp8.000. Saya cukup kaget dengan harga tiket yang begitu murah untuk durasi perjalanan yang cukup panjang. Saya tiba di Rangkasbitung pukul 09.30 dan melanjutkan perjalanan dengan microbus yang telah disediakan pihak open trip menuju Kampung Cijahe—pos pertama sekaligus tempat istirahat sebelum mendaki ke Baduy Dalam.Mengamati keseharian sekelompok masyarakat yang berbeda dari budaya kita selalu terdengar menarik. Hal baru, tempat baru, teman baru, suasana baru—semuanya membangkitkan gairah untuk merasakannya. Itulah yang melatari keinginan saya untuk segera menginjakkan kaki di tanah Baduy, selagi masih ada kesempatan. Dan pada awal Februari 2024, akhirnya kesempatan itu datang.
Siang itu, suasana pos sudah sangat ramai oleh wisatawan. Kami semua berkumpul di sebuah rumah panggung bambu yang tak begitu luas. Karena jumlah peserta puluhan orang, perlu sedikit usaha untuk mencari tempat duduk dan menaruh barang. Kami salat, makan, istirahat, dan bersiap di sana sebelum tour leader membawa kami memulai trekking. Jalur kami dimulai dari Kampung Cijahe, salah satu rute tercepat menuju Baduy Dalam, dengan estimasi waktu 2–4 jam. Rencananya kami akan pulang melalui jalur Ciboleger dengan estimasi waktu 5–9 jam, tergantung cuaca, medan, dan kondisi fisik peserta.
Sabtu sore itu, sebelum mendaki, suasananya sedikit gerimis. Langit mendung dan embusan angin terasa sejuk. Setelah briefing dan mengabadikan momen bersama, kami memulai pendakian. Cuaca Baduy saat itu memang kurang bersahabat, tapi tidak menyurutkan semangat dan rasa penasaran kami terhadap hal-hal yang akan kami temui nanti di Baduy Dalam.
Perjalanan kami dipandu dua orang Baduy Dalam: Kamong (15 tahun) dan Coki (9 tahun). Sama seperti warga Baduy Dalam pada umumnya, mereka tidak memakai alas kaki. Mereka mengenakan pakaian adat berupa sarung loreng hitam, jamang sangsang, dan ikat kepala putih. Adat istiadat setempat tidak memperbolehkan anak-anak Baduy, baik Luar maupun Dalam, untuk bersekolah. Karena itu, Kamong dan Coki bekerja sampingan sebagai porter dan pemandu wisata setiap akhir pekan. Di hari biasa, mereka membantu orang tua berkebun, berladang, atau menjual hasil pertanian seperti buah, madu, palawija, dan kerajinan khas Baduy ke desa-desa sekitar.
Medan yang kami lalui cukup menantang—terjal, licin, dan berlumpur. Sejujurnya, itu cukup menyulitkan. Banyak di antara kami yang terpeleset dan akhirnya memilih mendaki tanpa alas kaki karena merasa lebih aman. Jadi, saran saya bagi teman-teman yang ingin mengunjungi Baduy saat musim hujan: gunakan sepatu gunung yang proper dan trekking pole untuk menahan beban tubuh agar tidak mudah tergelincir. Setelah sekitar 2,5 jam mendaki, kami tiba di jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewatinya, kami tak lagi diperbolehkan menggunakan gawai atau mendokumentasikan apa pun, sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan adat, privasi, keotentikan budaya, dan keyakinan masyarakat setempat.
Menjelang Magrib, perjalanan kami terbayar ketika rumah-rumah bambu berdiri berjejer rapi di hadapan kami. Suasana Desa Cibeo tampak sepi—aktivitas penduduk sudah mulai meredup, anak-anak tak terlihat karena gerimis belum juga reda, dan langit terus menggelap. Kami langsung menuju rumah Ayah Sapri, ayah dari Kamong. Di sanalah kami akan menginap. Selain Ayah Sapri, ada Ambu, kakak perempuan, adik perempuan, dan seorang keponakan Kamong yang masih bayi. Kamong sendiri tidak ikut bermalam karena harus kembali ke rumah ladang.
Pakaian kami penuh lumpur saat tiba. Setelah beramah-tamah dan meletakkan barang, saya dan dua teman lainnya memutuskan membersihkan diri di sungai yang tak jauh dari rumah. Sungai ini berbeda dari yang kami temui di perjalanan—airnya sangat jernih meski baru diguyur hujan. Kami mandi bersama warga lokal yang sedang mencuci peralatan dapur, pakaian, dan bahan masakan. Awalnya kami malu karena belum terbiasa mandi di tempat terbuka. Tapi di sini, semua orang melakukannya. Kami pun menyesuaikan diri.
Dingin. Itulah yang pertama kali saya rasakan saat mencelupkan kaki ke air. Tapi setelah menceburkan seluruh badan, rasanya sejuk, segar, dan nyaman. Saya benar-benar menikmati sensasi mandi di sungai di atas bebatuan, diiringi suara alam. Kami saling menggosok punggung dengan batu, tertawa dan mengobrol bersama—sebuah pengalaman sederhana yang terasa menyenangkan. Kerlip kunang-kunang di atas kepala kami seperti pemandangan ajaib yang menghibur lelah setelah perjalanan panjang. Kami mendengar gemericik air, kicauan burung, desir dedaunan, dan tawa anak-anak di tepi sungai. Meski ingin berlama-lama, kami harus kembali sebelum malam tiba.
Saat pulang, cahaya remang obor yang tergantung di dekat tungku sudah menerangi rumah panggung tempat kami akan bermalam. Gerimis belum reda, tapi suasana hangat terasa karena tidak ada ponsel di antara kami. Kami mengobrol, bertukar cerita, dan mengenang momen lucu selama perjalanan. Tawa kami memecah keheningan malam hingga waktu makan tiba. Kami menyantap masakan Ambu dalam diam, menggunakan peralatan makan dari bambu. Setelah makan, kami saling mengenal lebih dekat, lalu mendengarkan Ayah Sapri bercerita tentang adat istiadat, hukum, keyakinan, tradisi perkawinan, dan banyak hal menarik lain tentang Baduy. Malam itu ditutup dengan makan durian hasil kebun. Letih yang tertahan sejak pagi akhirnya terasa. Kami berbaring dan tertidur pulas dalam pelukan malam.
Tidak ada komentar
Posting Komentar