Rabu, 30 April 2025
Vasektomi, Solusi Pengendalian “Beban Negara”?
Baru-baru ini, sebuah kebijakan kontroversial kembali mencuat di ruang publik: penerapan vasektomi sebagai syarat bagi warga miskin untuk menerima bantuan sosial. Langkah ini sontak menuai dukungan dari sebagian warganet yang merasa bahwa orang miskin sebaiknya tidak memiliki terlalu banyak anak. Mereka berargumen bahwa keluarga miskin kerap kali tak mampu memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya, sehingga langkah pengendalian kelahiran, bahkan melalui steril permanen seperti vasektomi dipandang sebagai solusi logis untuk memutus rantai kemiskinan.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya, benarkah masalahnya sesederhana itu? Apakah kemiskinan memang disebabkan oleh terlalu banyaknya anak, atau justru oleh sistem yang gagal menjamin hak-hak dasar warga negaranya?
Kemiskinan bukanlah hasil dari pilihan individu semata. Ia adalah buah dari struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Banyak dari mereka yang hidup dalam kemiskinan bekerja keras setiap hari, namun tetap saja penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upah minimum yang tidak layak, minimnya lapangan kerja, pendidikan yang tidak merata, dan akses kesehatan yang mahal menjadi realita sehari-hari bagi banyak keluarga di negeri ini. Di tengah tekanan hidup semacam itu, sulit mengharapkan seseorang untuk berpikir panjang tentang perencanaan keluarga, apalagi bila mereka tak mendapat akses terhadap edukasi seksual dan kontrasepsi yang aman.
Mendorong vasektomi sebagai bentuk pengendalian kelahiran bisa saja menjadi salah satu pilihan jika diberikan secara sukarela, dengan edukasi dan pertimbangan matang. Namun, ketika kebijakan ini dijadikan syarat untuk menerima bantuan sosial, maka itu tidak lagi bersifat sukarela. Itu menjadi bentuk pemaksaan terselubung, bahkan bisa disebut sebagai kekerasan struktural. Orang miskin dipaksa memilih antara mempertahankan haknya atas tubuh dan keturunan, atau mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Alih-alih mengatur tubuh rakyatnya, pemerintah seharusnya mengurus apa yang lebih mendesak dan fundamental: membuka lapangan kerja yang layak, memperbaiki sistem pendidikan dan layanan kesehatan, serta menjamin keamanan sosial. Menyederhanakan kemiskinan sebagai akibat dari jumlah anak hanyalah pengalihan isu. Ia mencerminkan ketidakmauan negara untuk melihat dan menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya.
Hak untuk memiliki keturunan adalah hak asasi. Dan hak atas hidup layak, termasuk akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan juga merupakan tanggung jawab negara yang tak bisa ditawar. Membatasi keturunan tanpa memperbaiki kualitas hidup hanya akan memperpanjang ketimpangan dan menormalisasi ketidakadilan.
Karena masalahnya bukan jumlah anak, melainkan sistem yang terus menerus gagal melindungi warganya.
Sabtu, 19 April 2025
Terang yang Tak Bisa Dipadamkan
Aku menjauh bukan karena takut.
Aku hanya terlalu sering memberi ruang
pada orang yang tak tahu cara menjaga
Dulu, aku pikir menjadi baik berarti menahan
semua luka dalam senyum.
Menjadi kuat berarti tetap berdiri meski
diinjak kata yang menusuk.
Tapi ternyata…Diam pun bisa menyakitkan.
Bukan untuk mereka, tapi untukku sendiri
Lalu datanglah lagi dia, dengan mulut ringan
dan pertanyaan yang tajam,
seolah hidupku adalah papan skor yang
harus dijelaskan.
Seolah aku terlambat dalam perlombaan
yang tidak pernah kuikuti sejak awal.
Lucu.
Pernah satu waktu, aku membantu
menyembuhkan lukanya,
meminjamkan uang yang kusembunyikan
dari kebutuhanku sendiri,
dan menahan cerita-cerita yang bisa jadi aibnya—
hanya agar dia tak runtuh.
Kini, dia datang… bukan untuk bertanya, tapi
untuk meremehkan,
seolah hidupku adalah bahan candaan,
dan saat kuberi secuil perlawanan,
dia menyebutku terlalu perasa dan lemah
untuk menerima apa yang disebutnya candaan
Aku marah. Tentu saja.
Ingin sekali rasanya menumpahkan semua
kebenaran yang kutahan.
ingin sekali rasanya membalas dengan
kalimat-kalimat yang kutahu akan mematahkan
Tapi insting mendorongku untuk diam.
Bukan karena aku tak mampu membalas,
Tapi karena aku tau—
Mereka yang bersinar terang,
seringkali membuat orang lain tidak nyaman dengan bayangannya sendiri.
Selasa, 26 November 2024
Morning Pages: Tiga Lembar Setiap Pagi Tanpa Sensor
"Morning pages are not meant to be art, or even writing. They are meant to be, simply, the act of moving the hand across the page and writing down whatever comes to mind. Nothing is too petty, too silly, too stupid, or too weird to be included".
Morning Pages bukan tentang menghasilkan tulisan yang indah atau bermakna. Melainkan untuk melepaskan apapun yang ada di pikiran tanpa sensor. Membiarkan tulisan mengalir bebas atau stream of consciousness, jadi tidak apa-apa untuk memulai dengan kebingungan atau pengulangan, yang penting adalah konsistensi menulis tiga halaman setiap pagi dengan tulisan tangan.
Morning pages, selain membuat pikiran menjadi lebih ringan, kegiatan ini juga membantu untuk lebih memahami pola pikir dan emosi dengan lebih baik. Hal itu meningkatkan kemampuan untuk lebih fokus dan menghasilkan ide-ide baru dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, membuka ruang bagi kreativitas yang mungkin sebelumnya terhambat karena kebingungan, kecemasan, atau tekanan mental. Morning pages juga memberi ruang untuk refleksi tanpa khawatir dengan penilaian orang lain. Bebas menjadi diri sendiri dan jujur apa adanya.
Rabu, 20 November 2024
Belajar Mencintai Hidup
Kadang aku berpikir, kalau suatu hari seseorang bertanya, “Kamu kok belum nikah? Maunya yang kayak gimana sih?” Aku mungkin akan menjawab: “Seseorang yang mencintai hidupnya.”
Bukan karena terdengar filosofis, tapi karena aku tahu, orang yang mencintai hidupnya bisa menemukan kebahagiaan dari hal yang paling sederhana. Mereka tidak menggantungkan kebahagiaan pada musim tertentu. Cerah, mendung, atau hujan sekalipun—semua tetap bisa dinikmati. Mereka senang mencium aroma kopi, tertawa bersama teman, menatap langit, atau bahkan hanya menikmati makanan favorit.
Mereka terbuka untuk mencoba. Tidak takut keluar dari kebiasaan, berani menyusuri tempat-tempat asing, mencoba hal baru, belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah ada di daftar sebelumnya. Mereka mungkin penggemar berat thriller detektif, tapi akan tetap mau mencoba membaca romance fantasy jika aku memintanya.
Mereka juga tidak sibuk meratapi masa lalu, atau hidup dalam ketakutan terhadap masa depan. Mereka hadir—penuh—di momen sekarang. Optimis. Bukan berarti tak pernah punya masalah, tapi mereka mampu melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Mereka punya impian, besar maupun kecil. Dan itu yang membuat mereka terus bergerak. Mereka peduli. Mereka suka berbagi kebahagiaan, meskipun hanya lewat hal-hal sederhana—sebuah pesan, secangkir teh, pelukan hangat, atau sekadar mendengarkan.
Mereka menjaga diri mereka sendiri. Makan makanan yang baik, olahraga, tidur cukup. Mereka ingin terus hadir dalam hidupnya dan hidup orang-orang yang mereka sayangi.
Mereka tidak hidup dengan dendam, tidak juga dengan penyesalan. Mereka menerima, berdamai, dan berjalan maju dengan hati yang ringan. Mencintai hidup berarti juga mencintai dan menerima diri sendiri. Tidak membandingkan terus-menerus dengan orang lain. Tidak sibuk mengejar validasi. Tapi bisa menatap cermin dan berkata: “Aku cukup.”
Tentu saja mereka juga punya hari-hari buruk. Mereka juga bisa marah, kecewa, atau menangis. Tapi mereka tahu cara bangkit. Mereka tahu hidup ini layak untuk dirayakan, meski hanya dengan secangkir kopi dan udara pagi yang segar.
Laki-laki fiksi-kah yang aku impikan? Aku pikir, tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding berdampingan seumur hidup dengan orang yang mencintai hidupnya. Aku menyisihkan semua kriteria laki-laki impianku saat remaja karena laki-laki yang mencintai hidupnya lebih keren dibanding apapun.
Aku menyukai hidupku akhir-akhir ini. Aku sendiri terkejut betapa besar dampak dari perubahan kecil: mencatat habit tracker, financial tracker, menulis morning pages, bangun pagi dan tidak tidur lagi, serta olahraga teratur. Semua itu berdampak nyata bagi fisik dan mentalku. Aku bersyukur untuk psikiaterku yang selalu menyertakan catatan di tiap sesi: “Olahraga fisik secara teratur agar dapat meningkatkan mood dan energi menjalani kegiatan sehari-hari. Tulislah perasaan dan pengalaman di buku catatan agar dapat membantu meredakan kecemasan dan memproses emosi dengan baik.”
Waktu masih menunjukan pukul 07.55 Aku akan membuat kopi dan mulai bekerja.
Aku ingin menutup pagi ini dengan kutipan dari Kahlil Gibran, dari buku The Prophet:
When you work, you fulfil a part of earth’s furthest dream,
assigned to you when that dream was born,
and in keeping yourself with labour you are in truth loving life,
and to love life through labour is to be intimate with life’s inmost secret.
Pekerjaan bukan sekadar kewajiban, tapi ekspresi cinta terhadap kehidupan. Dengan bekerja secara sadar dan penuh cinta, kita tidak hanya menjalani hidup, tapi juga menjadi bagian dari harmoni besar alam semesta. Lewat kerja, kita menemukan tujuan, menikmati dunia, dan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Selamat Mencintai Hidup!