Sabtu, 19 April 2025

Terang yang Tak Bisa Dipadamkan

Penulis: Nayla Iffah

Aku diam bukan karena kalah.
Aku menjauh bukan karena takut.
Aku hanya terlalu sering memberi ruang
pada orang yang tak tahu cara menjaga

Dulu, aku pikir menjadi baik berarti menahan
semua luka dalam senyum.
Menjadi kuat berarti tetap berdiri meski
diinjak kata yang menusuk.
Tapi ternyata…Diam pun bisa menyakitkan.
Bukan untuk mereka, tapi untukku sendiri

Lalu datanglah lagi dia, dengan mulut ringan
dan pertanyaan yang tajam,
seolah hidupku adalah papan skor yang
harus dijelaskan.
Seolah aku terlambat dalam perlombaan
yang tidak pernah kuikuti sejak awal.

Lucu.
Pernah satu waktu, aku membantu
menyembuhkan lukanya,
Tidak alpa untuk hadir saat dia—
berjibaku dengan kehilangannya,
meminjamkan uang yang kusembunyikan
dari kebutuhanku sendiri,
dan menahan cerita-cerita yang bisa jadi aibnya—
hanya agar dia tak runtuh.
Kini, dia datang… bukan untuk bertanya, tapi
untuk meremehkan,
seolah hidupku adalah bahan candaan,
dan saat kuberi secuil perlawanan,
dia menyebutku terlalu perasa dan lemah
untuk menerima apa yang disebutnya candaan

Aku tak pernah ingin mengungkit
hal-hal kecil yang kuberikan dengan tulus.
Tapi ucapannya menyeretku pada ingatan—
yang harusnya kupendam dalam-dalam

Aku marah. Tentu saja.
Ingin sekali rasanya menumpahkan semua
kebenaran yang kutahan.
ingin sekali rasanya membalas dengan
kalimat-kalimat yang kutahu akan mematahkan

Tapi insting mendorongku untuk diam.
Bukan karena aku tak mampu membalas,
Tapi karena aku tau—
Mereka yang bersinar terang,
seringkali membuat orang lain tidak nyaman dengan bayangannya sendiri.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Nayla Writing Room
Maira Gall