Minggu, 16 Juni 2024
Lima Rekomendasi Buku Tentang Depresi dan Kesehatan Mental
1. Loving The Wounded Soul
Kamis, 29 Februari 2024
Pengalaman Pertama Berkunjung ke Tanah Baduy
Pagi itu, saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Banten dengan menumpang KRL dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung. Ini adalah kali pertama saya mencoba rute KRL terpanjang di Indonesia, dengan waktu tempuh sekitar dua jam dan tarif hanya Rp8.000. Saya cukup kaget dengan harga tiket yang begitu murah untuk durasi perjalanan yang cukup panjang. Saya tiba di Rangkasbitung pukul 09.30 dan melanjutkan perjalanan dengan microbus yang telah disediakan pihak open trip menuju Kampung Cijahe—pos pertama sekaligus tempat istirahat sebelum mendaki ke Baduy Dalam.Mengamati keseharian sekelompok masyarakat yang berbeda dari budaya kita selalu terdengar menarik. Hal baru, tempat baru, teman baru, suasana baru—semuanya membangkitkan gairah untuk merasakannya. Itulah yang melatari keinginan saya untuk segera menginjakkan kaki di tanah Baduy, selagi masih ada kesempatan. Dan pada awal Februari 2024, akhirnya kesempatan itu datang.
Siang itu, suasana pos sudah sangat ramai oleh wisatawan. Kami semua berkumpul di sebuah rumah panggung bambu yang tak begitu luas. Karena jumlah peserta puluhan orang, perlu sedikit usaha untuk mencari tempat duduk dan menaruh barang. Kami salat, makan, istirahat, dan bersiap di sana sebelum tour leader membawa kami memulai trekking. Jalur kami dimulai dari Kampung Cijahe, salah satu rute tercepat menuju Baduy Dalam, dengan estimasi waktu 2–4 jam. Rencananya kami akan pulang melalui jalur Ciboleger dengan estimasi waktu 5–9 jam, tergantung cuaca, medan, dan kondisi fisik peserta.
Sabtu sore itu, sebelum mendaki, suasananya sedikit gerimis. Langit mendung dan embusan angin terasa sejuk. Setelah briefing dan mengabadikan momen bersama, kami memulai pendakian. Cuaca Baduy saat itu memang kurang bersahabat, tapi tidak menyurutkan semangat dan rasa penasaran kami terhadap hal-hal yang akan kami temui nanti di Baduy Dalam.
Perjalanan kami dipandu dua orang Baduy Dalam: Kamong (15 tahun) dan Coki (9 tahun). Sama seperti warga Baduy Dalam pada umumnya, mereka tidak memakai alas kaki. Mereka mengenakan pakaian adat berupa sarung loreng hitam, jamang sangsang, dan ikat kepala putih. Adat istiadat setempat tidak memperbolehkan anak-anak Baduy, baik Luar maupun Dalam, untuk bersekolah. Karena itu, Kamong dan Coki bekerja sampingan sebagai porter dan pemandu wisata setiap akhir pekan. Di hari biasa, mereka membantu orang tua berkebun, berladang, atau menjual hasil pertanian seperti buah, madu, palawija, dan kerajinan khas Baduy ke desa-desa sekitar.
Medan yang kami lalui cukup menantang—terjal, licin, dan berlumpur. Sejujurnya, itu cukup menyulitkan. Banyak di antara kami yang terpeleset dan akhirnya memilih mendaki tanpa alas kaki karena merasa lebih aman. Jadi, saran saya bagi teman-teman yang ingin mengunjungi Baduy saat musim hujan: gunakan sepatu gunung yang proper dan trekking pole untuk menahan beban tubuh agar tidak mudah tergelincir. Setelah sekitar 2,5 jam mendaki, kami tiba di jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewatinya, kami tak lagi diperbolehkan menggunakan gawai atau mendokumentasikan apa pun, sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan adat, privasi, keotentikan budaya, dan keyakinan masyarakat setempat.
Menjelang Magrib, perjalanan kami terbayar ketika rumah-rumah bambu berdiri berjejer rapi di hadapan kami. Suasana Desa Cibeo tampak sepi—aktivitas penduduk sudah mulai meredup, anak-anak tak terlihat karena gerimis belum juga reda, dan langit terus menggelap. Kami langsung menuju rumah Ayah Sapri, ayah dari Kamong. Di sanalah kami akan menginap. Selain Ayah Sapri, ada Ambu, kakak perempuan, adik perempuan, dan seorang keponakan Kamong yang masih bayi. Kamong sendiri tidak ikut bermalam karena harus kembali ke rumah ladang.
Pakaian kami penuh lumpur saat tiba. Setelah beramah-tamah dan meletakkan barang, saya dan dua teman lainnya memutuskan membersihkan diri di sungai yang tak jauh dari rumah. Sungai ini berbeda dari yang kami temui di perjalanan—airnya sangat jernih meski baru diguyur hujan. Kami mandi bersama warga lokal yang sedang mencuci peralatan dapur, pakaian, dan bahan masakan. Awalnya kami malu karena belum terbiasa mandi di tempat terbuka. Tapi di sini, semua orang melakukannya. Kami pun menyesuaikan diri.
Dingin. Itulah yang pertama kali saya rasakan saat mencelupkan kaki ke air. Tapi setelah menceburkan seluruh badan, rasanya sejuk, segar, dan nyaman. Saya benar-benar menikmati sensasi mandi di sungai di atas bebatuan, diiringi suara alam. Kami saling menggosok punggung dengan batu, tertawa dan mengobrol bersama—sebuah pengalaman sederhana yang terasa menyenangkan. Kerlip kunang-kunang di atas kepala kami seperti pemandangan ajaib yang menghibur lelah setelah perjalanan panjang. Kami mendengar gemericik air, kicauan burung, desir dedaunan, dan tawa anak-anak di tepi sungai. Meski ingin berlama-lama, kami harus kembali sebelum malam tiba.
Saat pulang, cahaya remang obor yang tergantung di dekat tungku sudah menerangi rumah panggung tempat kami akan bermalam. Gerimis belum reda, tapi suasana hangat terasa karena tidak ada ponsel di antara kami. Kami mengobrol, bertukar cerita, dan mengenang momen lucu selama perjalanan. Tawa kami memecah keheningan malam hingga waktu makan tiba. Kami menyantap masakan Ambu dalam diam, menggunakan peralatan makan dari bambu. Setelah makan, kami saling mengenal lebih dekat, lalu mendengarkan Ayah Sapri bercerita tentang adat istiadat, hukum, keyakinan, tradisi perkawinan, dan banyak hal menarik lain tentang Baduy. Malam itu ditutup dengan makan durian hasil kebun. Letih yang tertahan sejak pagi akhirnya terasa. Kami berbaring dan tertidur pulas dalam pelukan malam.
Rabu, 06 September 2023
As Long as The Lemon Tress Grow: Perang Fisik & Mental Penyintas Perang Suriah
Penulis: Nayla iffah As Long as The Lemon Tress Grow adalah buku debut yang ditulis oleh Zoulfa Katouh, seorang wanita muslim berkebangasaan Kanada dan merupakan keruturunan seorang Suriah. Novel young adult bergenre historical fiction romance ini sudah menarik perhatian para pembaca sejak pertama kali penerbitannya. Dengan menanamkan pesan dan harapan dalam situasi yang dialami oleh tiap karakter, penulis berhasil mengkombinasikan cerita tentang kekejaman penguasa tiran, trauma psikis serta upaya bertahan hidup para tokoh di dalamnya dengan plot yang epik dan menarik. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan meraih beberapa penghargaan, diantaranya: Amazon Best Young Adult of the Year 2022 dan nominasi Shortlisted Book of the Year Discover The British Book Awards 2023. Ide kisah dalam buku ini muncul ketika penulis menyadari bahwa banyak orang tidak terlalu tau apa yang terjadi di Suriah. Pemberitaan yang dilporkan media tentang korban perang, penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di Suriah menurutnya hanyalah sekadar angka. Karena hal tersebutlah penulis ingin menunjukan emosi-emosi manusia di balik itu semua dengan mengisahkan apa yang terjadi dan apa yang mereka alami.
Buku ini diceritakan melalui sudut pandang orang pertama yang merupakan seorang gadis muda berusia 19 tahun bernama Salama. Sebelum pecahnya perang Suriah, Salama adalah seorang mahasiswi apoteker tahun pertama yang menjalani kehidupan normal seperti remaja pada umumnya. Namun, pecahnya perang membuat Salama yang mulanya hanya seorang mahasiswi apoteker akhirnya menjadi volunteer multi peran sebagai apoteker, perawat dan ahli bedah di rumah sakit Zaytouna yang tak jauh dari tempat tinggalnya di Homs, Suriah.
Kegaduhan perang Suriah membuat Salama kehilangan ibunya, Ayah dan Hamza, Kakaknya ditahan di penjara Sednaya, salah satu tempat penahanan paling brutal di Suriah. Tak ada kabar dan kepastian apakah ayah dan Kakaknya masih hidup atau sudah menjadi martir. Satu-satunya keluarganya yang tersisa adalah Layla, saudari ipar sekaligus sahabat masa kecil yang tengah mengandung keponakannya. Sebelum Hamza pergi, Salama telah berjanji kepadanya untuk melindungi Layla dan calon bayinya. Dan satu-satunya cara untuk menunaikan janji tersebut adalah dengan menyelundup dari Suriah dan mengungsi ke Eropa.
Kepedihan, kehilangan, dan ketakutan akibat perang yang dialami oleh Salama menyebabkan ia mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) hingga memunculkan sosok bayangan seorang pria berwatak keras dan dingin bernama Khawf yang bersemayam dalam pikirannya. Khawf selalu mendesak Salama untuk menyelamatkan dirinya dan Layla agar meninggalkan Suriah sesegera mungkin. Konflik muncul dalam batin Salama karena ia tak ingin berpaling dari Suriah ketika tanah kelahirannya bergelimpangan dan membutuhkan dirinya untuk menolong menyelamatkan para pasien. Keraguannya bertambah ketika akhirnya ia bertemu dengan Kenan. Sosok pemuda bermata hijau dengan semangat membara untuk membela tanah airnya. Sosok pemuda yang gemar dengan dengan animasi dan ingin berjuang untuk menunjukan pada dunia kekajaman macam apa yang sedang terjadi di Suriah, sosok pemuda yang seharusnya Salama temui pada hari ketika serangan pertama di kota Homs pecah.
Ketika membaca buku ini pembaca ditarik untuk turut merasakan kepedihan, kesedihan, dan juga ketegangan para tokohnya ketika berjuang untuk bertahan hidup. As Long as the Lemon Tress Grow adalah kisah memilukan tentang perang Suriah yang membuat orang tua kehilangan anak, dan anak-anak yang seketika menjadi yatim/piatu karena kehilangan orang tuanya. Kisah dalam buku ini membuat kita lebih memahami mengapa orang-orang yang masih terlibat begitu sulit untuk keluar dari perang dan memilih tetap bertahan dalam kekejaman yang dilakukan penguasa tiran.
Novel ini merupakan salah satu buku paling berkesan yang saya baca di tahun 2023. Kisah tentang pecahnya perang telah menyebabkan banyak tragedi memilukan. Namun, di tengah-tengah hal yang memilkukan sekalipun pasti akan ada saatnya hal-hal yang membahagiakan tiba. Seperti Salama dan Kenan yang saling menemukan dan berjuang bersama untuk bertahan hidup dan melindungi kelurga yang masih tersisa dengan bekal "harapan". Harapan untuk bisa hidup normal dan bebas menyurakan aspirasi untuk tanah kelahirannya.
"Takdir memang memiliki sulur-sulur benangnya, tetapi kitalah yang merajutnya dengan tindakan dan pilihan kita. Keimananku pada takdir tidak membuatku pasif. Aku jurstru berjuang, berjuang, dan berjuang demi hidupku. Sama seperti Kenan berjuang untuk hidupnya".
Factfulness: Mispersepsi Tentang Dunia yang Dianggap Semakin Buruk
Factfulness merupakan buku bestseller yang ditulis oleh Hans Rosling, seorang guru besar ilmu kesehatan internasional, dokter, peneliti, konsultan WHO dan UNICEF serta salah satu pendiri Gapminder Foundation. Factfulness merupakan buku kolaborator Hans bersama Ola Rosling dan Anna Rosling. Buku ini telah diterjemakan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dan telah dibaca oleh beberapa tokoh besar dunia seperti Barack Obama dan Bill Gates.
Factfulness merupakan buku yang akan menuntun kita untuk mengubah perspektif dan kecenderungan kita yang menganggap bahwa dunia semakin buruk padahal faktanya tidaklah demikian. Jika membandingkan dunia yang sekarang dengan dunia beberapa puluh tahun yang lalu, jelas banyak sekali perubahan-perubahan baik yang patut kita apresiasi. Meskipun di dunia ini masih banyak hal-hal buruk yang terjadi, tapi hal-hal buruk tersebut disaat bersamaan juga disertai dengan banyak munculnya hal-hal baik. Misalnya, semakin menurunnya angka kemiskinan ekstrim, semakin meratanya akses pendidikan, akses kesehatan, listrik dan air, semakin meningkatnya usia harapan hidup rata-rata, serta berbagai kemajuan manakjubkan lainnya di berbagai sektor.
Buku ini tidak menuntut kita untuk selalu berpikir baik tentang dunia, melainkan mempertahankan dua pikiran sekaligus bahwa sesuatu dapat membaik sekaligus tetap buruk, dan melihat segala sesuatunya beradasarkan data, bukan perasaan atau ilusi. Garis besar dalam buku Factfulness membahas tentang sepuluh insting atau naluri yang kerap membuat kita salah paham dan tidak memandang dunia sebagai mana mestinya sesuai dengan fakta yang ada. Disini, saya tidak akan membahas sepuluh insting sekaligus. Saya hanya akan memberi gambaran besar tentang beberapa insting yang menurut saya paling menarik dan seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
The Gap Instinct (Naluri Terhadap Kesenjangan)
Kita
seringkali melabeli segala sesuatu dalam dua kategori berbeda yang
bertentangan seperti memberi jarak yang lebar antar keduanya supaya
perbedaan dalam imajinasi kita benar-benar ketara dan susah terpatahkan,
misalnya mengkategorikan negara berdasarkan dua jenis: negara kaya
versus negara miskin. Dengan mengkategorikan dunia ke dalam dua kotak
(miskin dan kaya) hal tersebut dapat menjadikan sudut pandang kita
terdistorsi dalam menggambarkan dunia yang kita kenal. Ketika orang
mangatakan "negara berkembang" dan "negara maju" yang ada di pikiran
mereka mungkin adalah "negara miskin" dan "negara kaya" "west/rest" dan "low income/ high income" dan semacamnya. Padahal faktanya, saat ini kesenjangan antara dua perbedaan yang bertentangan tersebut sudah tidak ada.
Saat ini negara-negara miskin yang sedang berkembang tidak lagi hadir sebagai kelompok yang berbeda. Kesenjangan itu tidak ada. Sekarang, sebagaian bersar orang, 75% hidup di negara-negara berpendapatan sedang, tidak miskin dan tidak kaya.
Meskipun sekala negara dengan penduduk yang masih menderita kemiskinan ekstrim masih ada, tapi sebagian besar warga dunia saat ini sudah berada di bagian tengah, tidak miskin dan tidak kaya.
The Destiny Instinct (Naluri Terhadap Takdir)
"Naluri terhadap takdir ini adalah gagasan bahwa karakteristik bawaan menentukan takdir sebuah bangsa, negara, agama, atau tradisi dan kebudayaan. Menurut gagasan ini, segala sesuatu akan tetap seperti "apa adanya" karena bermacam alasan yang tidak dapat dihindari: akan tetap seperti itu dan tidak akan pernah berubah"Sebagian dari kita mungkin berasumsi bahwa keadaan yang statis adalah sebuah takdir. Sebuah tradisi dalam suatu negara, agama, atau kebudayaan yang dalam keberlangsungan praktiknya merugikan pihak-pihak tertentu dan telah berlangsung selama Puluhan abad tampak seperti batu cadas yang tidak berubah dan kita mengasumsikannya sebagai "takdir".
Misalkan saja di Yaman. dalam buku I'm Nujood Age 10 and Divorce dikatakan bahwasanya di Yaman, agama hanyalah salah satu faktor yang mendorong para ayah untuk menikahkan anak perempuan mereka sebelum mencapai usia pubertas. Faktor pendukung lainnya adalah kemiskinan, adat istiadat setempat, kurangnya pendidikan serta kehormatan keluarga. Bahkan ada sebuah pribahasa dari salah satu suku di Yaman yang menyatakan "untuk menjamin pernikahan yang berbahagia, nikahilah gadis berusia Sembilan tahun". Kebudayaan partiaki dengan semboyan agama tersebut sudah berlangsung selama berabad-abad dan tampak susah sekali untuk dihilangkan.
"Masyarakat dan kebudayaan tidak seperti batu cadas yang tidak berubah dan tidak dapat diubah. Semua itu bergerak. Masyarakat dan kebudayaan Barat bergerak, masyarakat dan kebudayaan yang bukan Barat juga bergerak—seringkali jauh lebih cepat"
Terlepas dari perang dan kemiskinan, saat ini praktik ekstrim tersebut perlahan-lahan sudah berkurang. Banyak diantara perempuan Yaman yang saat ini sudah dapat mengakses pendidikan sehingga persentase perempuan yang buta huruf juga telah berkurang.
Dalam akhir bab ini Hans menyebutkan bahwasanya nilai-nilai yang mengunggulkan laki-laki seperti yang kita temukan saat ini di banyak negara Asia dan Afrika sesungguhnya bukan nilai-nilai Asia atau nilai-nilai Afrika. Nilai-nilai itu juga bukan nilai-nilai islam. Bukan nilai-nilai ketimuran, itu hanya nilai-nilai patriarkal yang akan hilang seiring dengan kemajuan pendidikan, sosial dan ekonomi. Pandangan-pandangan seperti itu akan hilang. Bukan tidak dapat diubah.
Dengan mengetahui fakta bahwasanya kita lebih dekat dengan kemajuan dari pada kemunduran dan bahwa dunia tidak sedramatis yang kita bayangkan, hal tersebut memungkinkan untuk membuat perasaan stres atau putus asa yang kita rasakan menjadi berkurang. Ketika memiliki wawasan dunia berbasis fakta, kita akan melihat bahwa dunia tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini. dengan demikian kita juga dapat melihat dan mempertimbangkan apa yang harus kita lakukan untuk menjadikannya lebih baik.
Jumat, 01 September 2023
Sebatas Kenang
ingatanku hanya sekelumit debu dibalik tumpukan buku-buku
setiap lembar mengunci rasa
setiap rasa dibunuh paksa, dan
hanya mampu berkata dalam bahasa penuh terka.
aku seperti gila mencintai lelaki berwajah doa di sejadah kusam berwarna biru tua.
katanya, begitulah rasa
seringkali salah mengalamatkan tahta
seringkali jatuh pada yang tak disangka-sangka.
jangan serakah menciptakan kenang jika tak ingin berakhir di jeruju lara.
Maka biarlah kenangku tentangmu hanya sebatas berpapas mata, bicara, dan duduk berdua.
Biarlah ia mewujud sederhana seperti senja yang muncul sesaat,
kemudian hilang tiba-tiba.
Jember, November 2020.